Thursday, July 15, 2021

MAKALAH KOMUNIKASI DALAM KEPERAWATAN PALIATIF

 

 

                                                                                      

RESUME

KOMUNIKASI DALAM KEPERAWATAN PALIATIF


DI SUSUN OLEH:

NOOR PUTRI ELLIYA

NIM:

1803064

MATA KULIAH:

KEPERAWATAN MENJELANG AJAL DAN PALIATIF

 

 

PROGAM  STUDI S-1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA SEMARANG

2020

 

 

 

KOMUNIKASI DALAM KEPERAWATAN PALIATIF

            Komunikasi dalam keperawatan paliatif merupakan suatu keterampilan yang sangat di perlukan oleh seorang perawat dalam menjalin hubungan baik dan lancar dengan pasien. Adapun komunikasi merupakan keterampilan dasar pembentuk hubungan kepercayaan antara tim medis dan pasien yang harus dilakukan secara efisien dan kompeten. Oleh sebab itu, komunikasi adalah keterampilan yang penting dan harus dikuasai oleh perawat guna lebih efektif dalam melakukan tindakan selama bekerja. Selain itu, keterampilan komunikasi interpersonal sangat penting dalam pengembangan hubungan seperti dokter dan pasien, antar profesi sebagai pemberi pelayanan kesehatan, dalam memfasilitasi berbagai informasi, kepatuhan akan pengobatan, kepuasan dalam pelayanan, peningkatan komunikasi dan kolaborasi antarprofesi kesehatan guna menurunkan kesalahaan medis yang kemungkinan terjadi dan meningkatkan keselamatan pasien. (Pramesti, Andiyanti and Effendi, 2017)

            Perawat dalam tindakan keperawatan harus mampu berkomunikasi, komunikasi yang efektif menciptakan rasa aman dan nyaman bagi pasien. Dengan komunikasi terapeutik maka hal ini dapat membantu pasien dalam mempermudah ketika menjelaskan beban pikiran dan perasaan yang di alami sehingga dapat mengurangi rasa kecemasan pasien. Komunikasi efektif juga bermanfaat dan berperan dalam kesembuhan pasien serta berpengaruh dalam kepuasan pasien dan keluarga terhadap suatu pelayanan kesehatan. Hal ini tentu menunjukkan bahwa komunikasi berperan penting dalam salah satu upaya peningkatan kualitas layanan bagi perawat. Perawat yang memiliki kemampuan keunggulan dalam komunikasi akan memperoleh kemudahan dalam menjalin hubungan dengan pasien atau keluarga. (Paju and Dwiantoro, 2018)

            Kemampuan khusus seperti keterampilan intelektual dan teknikal merupakan suatu kemampuan yang diperlukan oleh perawat dalam perilaku berkomunikasi secara terapeutik dengan pasien. Selain itu, tidak hanya akan memperoleh kemudahan dalam menjalin hubungan dengan pasien, perawat juga dapat dengan mudah membangun hubungan rasa percaya serta mencegah terjadinya masalah legal yang mungkin terjadi, memberikan kepuasan secara professional dalam pelayanan kesehatan dan meningkatkan citra profesi sendiri serta Rumah Sakit. Adapun beberapa factor yang perlu di perhatikan dalam upaya proses komunikasi efektif antara lain sensitifitas terhadap penerima komunikasi, kesadaran, pengertian akan makna simbolis, penentuan waktu yang tepat dan umpat balik yang di peroleh dalam komunikasi tatap muka yang di lakukan. Oleh sebab itu, komunikasi harus dilakukan secara jelas, singkat, dan berkesinambungan. (Paju and Dwiantoro, 2018)

            Dalam perawatan paliatif, seorang perawat harus memiliki kemampuan unggul dalam komunikasi karena perawatan paliatif merupakan perawatan yang memberikan tidakan berupa suatu pendekatan dalam meningkatkan kualias hidup pasien dan keluarga. Dikutip dari (Abu-odah, Molassiotis and Liu, 2020) menurut definisi WHO tahun 2002 tentang paliatif care adalah pendekatan yang meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga mereka melalui pencegahan dan pemulihan penderitaan melalui identifikasi awal dan penilaian sempurna serta pengobatan rasa sakit dan masalah lain, fisik, pskososial, dan spiritual. Tidak ada konsistensi dalam pengertian dari perawatan paliatif. Adapula definisi yang diambil dari (Bennardi et al., 2020) menunjukkan bahwa definisi menurut WHO 2016: “Perawatan paliatif adalah pendekatan yang meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga mereka yang menghadapi masalah yang terkait dengan penyakit yang mengancam jiwa, melalui pencegahan dan pengurangan penderitaan melalui identifikasi awal dan penilaian sempurna dan perawatan rasa sakit dan masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual”.

            Tujuan utama perawatan paliatif adalah untuk meningkatkan kualitas hidup orang-orang yang memiliki penyakit yang mengancam jiwa dan keluarga mereka melalui pencegahan dan pemulihan penderitaan. Ini membutuhkan identifikasi awal dari keprihatinan mereka Oleh karena itu ada kebutuhan untuk secara sistematis menilai kualitas hidup pasien dan keluarga. Pengukuran yang dilaporkan sendiri semakin banyak digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan perawatan fisik, psikologis, sosial dan spiritual, menilai perubahan dan mengevaluasi intervensi. Ukuran dalam meningkatkan kualitas hidup yang dikembangkan untuk digunakan dalam perawatan paliatif terlepas dari diagnosis yang mendasarinya hanya sedikit. Meskipun beberapa instrumen spesifik penyakit tersedia, ada kebutuhan dalam langkah-langkah untuk digunakan dalam perawatan paliatif terlepas dari penyakit.(Axelsson et al., 2020)

            Diambil dari penelitian (Adistie et al., 2018) Perawatan paliatif tidak hanya dibutuhkan oleh orang dewasa yang mengalami penyakit terminal, karena saat ini tidak sedikit anak-anak yang mengalami kondisi terminal karena mengidap penyakit yang mengancam nyawa maupun life-limiting illness. Terdapat peningkatan jumlah anak di komunitas yang membutuhkan perawatan paliatif, kematian pada anak merupakan hal yang jarang namun dapat menjadi sesuatu hal yang tragis (Mitchell & Dale, 2013). Dikutip dari (Mariyana, 2019), Perawatan paliatif didasarkan pada masalah dan perasaan yang berhubungan dengan stres individu dalam mengatasi penyakit yang dihadapi (Thomsen, Rydahlhansen & Wagner, 2010).

            Pasien dengan penyakit terminal atau penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pada dewasa dan anak-anak mengalami peningkatan di Indonesia. Data kasus paliatif berdasarkan prevalensi World Health Organization tahun 2011 menunjukkan bahwa dari 29 miliar kasus paliatif sebanyak 20,4 miliar kasus membutuhkan pelayanan paliatif. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki angka prevalensi kanker tinggi. Begitu juga dengan penyakit Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome mengalami peningkatan dari 10,36% pada tahun 2006 menjadi 22,86% pada tahun 2014. Peningkatan angka kejadian ini mengindikasikan untuk segera disediakan pelayanan paliatif. (Poerin et al., 2018)

            Penyakit terminal merupakan penyakit progresif yang menuju ke arah kematian yang memerlukan pelayanan kesehatan lebih intensif. Pelayanan paliatif merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang terpadu yang bersifat aktif dan menyeluruh, dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi. Pelayanan paliatif komprehensif dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Gambaran dari kualitas hidup yaitu gejala fisik, kemampuan aktivitas sehari-hari seperti mandi, makan, berpakaian. Pelayanan paliatif dapat menghilangkan rasa nyeri, meringankan keluhan lain dan memberikan dukungan dalam hal spiritual dan psikososial mulai dari diagnosa ditegakkan, serta dukungan kepada keluarga pasien yang merasa kehilangan. Aspek pemberian dalam pelaksanaan pelayanan paliatif sangat dipengaruhi oleh pengalaman tim interdisiplin. Peran dokter tidak hanya dalam tata laksana kuratif saja, akan tetapi juga bertindak dalam pemberian informasi, dukungan dan pemberian saran dalam pengambilan keputusan. (Poerin et al., 2018)

            Setiap pasien yang mengalami penyakit terminal akan melewati respon dalam fase yang berbeda-beda. oleh sebab itu perawat perlu tahu bahwa pasien sedang berada pada fase kehilangan yang mana, sehingga memudahkan dalam menyesusaikan dalam fase yang di alami pasien. Adapun fase-fase sebagai berikut.

1.      Fase denial (pengikraran) adalah fase dimana individu mengalami ketidak percayaan terhadap apa yang terjadi.

2.      Fase anger (marah) adalah fase yang di mulai dari timbulnya kesadaran akan kenyataan yang terjadi dan menunjukkan perasaan meningkat yang di proyeksikan kepada orang tertentu, orang sekitar, atau diri sendiri.

3.      Fase bargening (tawat menawar) adalah fase dimana individu sudah mampu mengungkapkan amarahnya secara intesif, maka akan masuk fase tawar menawar untuk mendapatkan kemurahan tuhan.

4.      Fase depresi adalah fase yang mana individu sering menunjukkan sikap seperti menarik diri, tidak mau berbicara, perasaan tidak berharga bahkan keputus asaan.

5.      Fase menerima adalah fase di mana individu sudah berada pada fase akhir yaitu penerimaan terhadap apa yang terjadi. Jika individu itu berhasil sampai pada tahap ini maka ia daapat menyelesaikan dengan tuntas permalahan ini. Akan tetapi jika terjebak di salah satu fase yang lain maka akan cukup berat individu tersebut masuk dalam fase penerimaan.

            Meskipun berpotensi tinggi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga, layanan perawatan paliatif menghadapi hambatan signifikan dalam penggunaannya. Di negara-negara dengan sistem kesehatan sumber daya tinggi, hambatan non finansial dan nonstruktural untuk layanan perawatan paliatif sangat menonjol. Ini adalah hambatan kognitif pengetahuan dan hambatan komunikasi untuk penggunaan perawatan paliatif. Sampai saat ini belum ada tinjauan sistematis yang memberikan perhatian yang layak pada hambatan kognitif dan fasilitator untuk pemanfaatan layanan perawatan paliatif (Bennardi et al., 2020).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Abu-odah, H., Molassiotis, A. and Liu, J. (2020) ‘Challenges on the provision of palliative care for patients with cancer in low- and middle-income countries : a systematic review of reviews’. BMC Palliative Care, pp. 1–16.

Adistie, F. et al. (2018) ‘Kebutuhan Perawat Dalam Memberikan Asuhan Keperawatan Paliatif Pada Anak : Literature Review Nurses ’ Need To Provide Palliative Nursing Care To Children : Literature Review’, Nursing Care & Biomelecular, 3(2), pp. 104–113.

Axelsson, L. et al. (2020) ‘Measuring quality of life in life-threatening illness-content validity and response processes of MQOL-E and QOLLTI-F in Swedish patients and family carers’, BMC Palliative Care. BMC Palliative Care, 19(1), pp. 1–9. doi: 10.1186/s12904-020-00549-6.

Bennardi, M. et al. (2020) ‘Palliative care utilization in oncology and hemato-oncology: a systematic review of cognitive barriers and facilitators from the perspective of healthcare professionals, adult patients, and their families’, BMC palliative care. BMC Palliative Care, 19(1), p. 47. doi: 10.1186/s12904-020-00556-7.

Mariyana, R. (2019) ‘Respon Emosional Orang Tua Dalam Merawat Anak Dengan Kanker Dalam Kondisi Perawatan Palliatif’, NERS Jurnal Keperawatan, 14(2), p. 53. doi: 10.25077/njk.14.2.53-58.2018.

Paju, W. and Dwiantoro, L. (2018) ‘Upaya Meningkatkan Komunikasi Efektif Perawat - Pasien’, Jurnal Keperawatan, 10(1), pp. 28–36.

Poerin, N. O. et al. (2018) ‘Gambaran Persepsi Masyarakat tentang Keberadaan Pelayanan Paliatif di Kota Bandung’, 4, pp. 133–139.

Pramesti, A., Andiyanti, L. and Effendi, A. (2017) ‘Meningkatkan Komunikasi dan Kolaborasi dengan Interprofessional Education (IPE): iterature Re- view Haerul’, Jurnal Keperawatan Muhammadiyah, 2(2), pp. 91–101.

 

No comments:

Post a Comment