RESUME
KOMUNIKASI DALAM KEPERAWATAN PALIATIF
DI SUSUN OLEH:
NOOR PUTRI ELLIYA
NIM:
1803064
MATA KULIAH:
KEPERAWATAN MENJELANG AJAL DAN PALIATIF
PROGAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA SEMARANG
2020
KOMUNIKASI
DALAM KEPERAWATAN PALIATIF
Perawat
dalam tindakan keperawatan harus mampu berkomunikasi, komunikasi yang efektif
menciptakan rasa aman dan nyaman bagi pasien. Dengan komunikasi terapeutik maka
hal ini dapat membantu pasien dalam mempermudah ketika menjelaskan beban
pikiran dan perasaan yang di alami sehingga dapat mengurangi rasa kecemasan
pasien. Komunikasi efektif juga bermanfaat dan berperan dalam kesembuhan pasien
serta berpengaruh dalam kepuasan pasien dan keluarga terhadap suatu pelayanan
kesehatan. Hal ini tentu menunjukkan bahwa komunikasi berperan penting dalam
salah satu upaya peningkatan kualitas layanan bagi perawat. Perawat yang
memiliki kemampuan keunggulan dalam komunikasi akan memperoleh kemudahan dalam
menjalin hubungan dengan pasien atau keluarga. (Paju and Dwiantoro, 2018)
Kemampuan
khusus seperti keterampilan intelektual dan teknikal merupakan suatu kemampuan
yang diperlukan oleh perawat dalam perilaku berkomunikasi secara terapeutik
dengan pasien. Selain itu, tidak hanya akan memperoleh kemudahan dalam menjalin
hubungan dengan pasien, perawat juga dapat dengan mudah membangun hubungan rasa
percaya serta mencegah terjadinya masalah legal yang mungkin terjadi,
memberikan kepuasan secara professional dalam pelayanan kesehatan dan
meningkatkan citra profesi sendiri serta Rumah Sakit. Adapun beberapa factor
yang perlu di perhatikan dalam upaya proses komunikasi efektif antara lain
sensitifitas terhadap penerima komunikasi, kesadaran, pengertian akan makna
simbolis, penentuan waktu yang tepat dan umpat balik yang di peroleh dalam
komunikasi tatap muka yang di lakukan. Oleh sebab itu, komunikasi harus dilakukan
secara jelas, singkat, dan berkesinambungan. (Paju
and Dwiantoro, 2018)
Dalam perawatan paliatif, seorang
perawat harus memiliki kemampuan unggul dalam komunikasi karena perawatan
paliatif merupakan perawatan yang memberikan tidakan berupa suatu pendekatan dalam
meningkatkan kualias hidup pasien dan keluarga. Dikutip dari (Abu-odah, Molassiotis and Liu, 2020) menurut definisi
WHO tahun 2002 tentang paliatif care adalah pendekatan yang meningkatkan
kualitas hidup pasien dan keluarga mereka melalui pencegahan dan pemulihan
penderitaan melalui identifikasi awal dan penilaian sempurna serta pengobatan
rasa sakit dan masalah lain, fisik, pskososial, dan spiritual. Tidak ada
konsistensi dalam pengertian dari perawatan paliatif. Adapula definisi yang
diambil dari (Bennardi et al., 2020) menunjukkan bahwa definisi menurut WHO 2016:
“Perawatan paliatif adalah pendekatan yang meningkatkan kualitas hidup pasien
dan keluarga mereka yang menghadapi masalah yang terkait dengan penyakit yang
mengancam jiwa, melalui pencegahan dan pengurangan penderitaan melalui
identifikasi awal dan penilaian sempurna dan perawatan rasa sakit dan masalah
lain, fisik, psikososial dan spiritual”.
Tujuan utama perawatan paliatif adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup orang-orang yang memiliki penyakit yang mengancam jiwa dan
keluarga mereka melalui pencegahan dan pemulihan penderitaan. Ini membutuhkan
identifikasi awal dari keprihatinan mereka Oleh karena itu ada kebutuhan untuk
secara sistematis menilai kualitas hidup pasien dan keluarga. Pengukuran yang
dilaporkan sendiri semakin banyak digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan
perawatan fisik, psikologis, sosial dan spiritual, menilai perubahan dan
mengevaluasi intervensi. Ukuran dalam meningkatkan kualitas hidup yang
dikembangkan untuk digunakan dalam perawatan paliatif terlepas dari diagnosis yang
mendasarinya hanya sedikit. Meskipun beberapa instrumen spesifik penyakit
tersedia, ada kebutuhan dalam langkah-langkah untuk digunakan dalam perawatan
paliatif terlepas dari penyakit.(Axelsson et al., 2020)
Diambil dari penelitian (Adistie et al., 2018) Perawatan paliatif tidak hanya dibutuhkan oleh
orang dewasa yang mengalami penyakit terminal, karena saat ini tidak sedikit
anak-anak yang mengalami kondisi terminal karena mengidap penyakit yang
mengancam nyawa maupun life-limiting illness. Terdapat peningkatan jumlah anak
di komunitas yang membutuhkan perawatan paliatif, kematian pada anak merupakan
hal yang jarang namun dapat menjadi sesuatu hal yang tragis (Mitchell &
Dale, 2013). Dikutip dari (Mariyana, 2019), Perawatan paliatif didasarkan pada masalah dan
perasaan yang berhubungan dengan stres individu dalam mengatasi penyakit yang
dihadapi (Thomsen, Rydahlhansen & Wagner, 2010).
Pasien
dengan penyakit terminal atau penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pada
dewasa dan anak-anak mengalami peningkatan di Indonesia. Data kasus paliatif
berdasarkan prevalensi World Health Organization tahun 2011 menunjukkan bahwa
dari 29 miliar kasus paliatif sebanyak 20,4 miliar kasus membutuhkan pelayanan
paliatif. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki angka
prevalensi kanker tinggi. Begitu juga dengan penyakit Human Immunodeficiency
Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome mengalami peningkatan dari 10,36% pada
tahun 2006 menjadi 22,86% pada tahun 2014. Peningkatan angka kejadian ini
mengindikasikan untuk segera disediakan pelayanan paliatif. (Poerin et al., 2018)
Penyakit
terminal merupakan penyakit progresif yang menuju ke arah kematian yang
memerlukan pelayanan kesehatan lebih intensif. Pelayanan paliatif merupakan
salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang terpadu yang bersifat aktif dan
menyeluruh, dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi. Pelayanan
paliatif komprehensif dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Gambaran dari kualitas hidup yaitu gejala fisik, kemampuan aktivitas
sehari-hari seperti mandi, makan, berpakaian. Pelayanan paliatif dapat
menghilangkan rasa nyeri, meringankan keluhan lain dan memberikan dukungan
dalam hal spiritual dan psikososial mulai dari diagnosa ditegakkan, serta
dukungan kepada keluarga pasien yang merasa kehilangan. Aspek pemberian dalam
pelaksanaan pelayanan paliatif sangat dipengaruhi oleh pengalaman tim
interdisiplin. Peran dokter tidak hanya dalam tata laksana kuratif saja, akan
tetapi juga bertindak dalam pemberian informasi, dukungan dan pemberian saran
dalam pengambilan keputusan. (Poerin et al., 2018)
Setiap
pasien yang mengalami penyakit terminal akan melewati respon dalam fase yang
berbeda-beda. oleh sebab itu perawat perlu tahu bahwa pasien sedang berada pada
fase kehilangan yang mana, sehingga memudahkan dalam menyesusaikan dalam fase
yang di alami pasien. Adapun fase-fase sebagai berikut.
1. Fase denial
(pengikraran) adalah fase dimana individu mengalami ketidak percayaan terhadap
apa yang terjadi.
2. Fase anger (marah)
adalah fase yang di mulai dari timbulnya kesadaran akan kenyataan yang terjadi
dan menunjukkan perasaan meningkat yang di proyeksikan kepada orang tertentu,
orang sekitar, atau diri sendiri.
3. Fase bargening
(tawat menawar) adalah fase dimana individu sudah mampu mengungkapkan amarahnya
secara intesif, maka akan masuk fase tawar menawar untuk mendapatkan kemurahan
tuhan.
4. Fase depresi
adalah fase yang mana individu sering menunjukkan sikap seperti menarik diri,
tidak mau berbicara, perasaan tidak berharga bahkan keputus asaan.
5. Fase menerima
adalah fase di mana individu sudah berada pada fase akhir yaitu penerimaan
terhadap apa yang terjadi. Jika individu itu berhasil sampai pada tahap ini
maka ia daapat menyelesaikan dengan tuntas permalahan ini. Akan tetapi jika
terjebak di salah satu fase yang lain maka akan cukup berat individu tersebut
masuk dalam fase penerimaan.
Meskipun berpotensi tinggi untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien dan keluarga, layanan perawatan paliatif menghadapi hambatan
signifikan dalam penggunaannya. Di negara-negara dengan sistem kesehatan
sumber daya tinggi, hambatan non finansial dan nonstruktural untuk layanan
perawatan paliatif sangat menonjol. Ini
adalah hambatan kognitif pengetahuan dan hambatan komunikasi untuk penggunaan
perawatan paliatif. Sampai saat ini belum
ada tinjauan sistematis yang memberikan perhatian yang layak pada hambatan
kognitif dan fasilitator untuk pemanfaatan layanan perawatan paliatif (Bennardi et al., 2020).
DAFTAR PUSTAKA
Abu-odah, H., Molassiotis, A. and Liu, J. (2020) ‘Challenges
on the provision of palliative care for patients with cancer in low- and
middle-income countries : a systematic review of reviews’. BMC Palliative Care,
pp. 1–16.
Adistie, F. et al. (2018)
‘Kebutuhan Perawat Dalam Memberikan Asuhan Keperawatan Paliatif Pada Anak :
Literature Review Nurses ’ Need To Provide Palliative Nursing Care To
Children : Literature Review’, Nursing Care & Biomelecular, 3(2),
pp. 104–113.
Axelsson, L. et al. (2020)
‘Measuring quality of life in life-threatening illness-content validity and
response processes of MQOL-E and QOLLTI-F in Swedish patients and family
carers’, BMC Palliative Care. BMC Palliative Care, 19(1), pp. 1–9. doi:
10.1186/s12904-020-00549-6.
Bennardi, M. et al. (2020)
‘Palliative care utilization in oncology and hemato-oncology: a systematic
review of cognitive barriers and facilitators from the perspective of
healthcare professionals, adult patients, and their families’, BMC
palliative care. BMC Palliative Care, 19(1), p. 47. doi:
10.1186/s12904-020-00556-7.
Mariyana, R. (2019) ‘Respon Emosional
Orang Tua Dalam Merawat Anak Dengan Kanker Dalam Kondisi Perawatan Palliatif’, NERS
Jurnal Keperawatan, 14(2), p. 53. doi: 10.25077/njk.14.2.53-58.2018.
Paju, W. and Dwiantoro, L. (2018)
‘Upaya Meningkatkan Komunikasi Efektif Perawat - Pasien’, Jurnal Keperawatan,
10(1), pp. 28–36.
Poerin, N. O. et al. (2018)
‘Gambaran Persepsi Masyarakat tentang Keberadaan Pelayanan Paliatif di Kota
Bandung’, 4, pp. 133–139.
Pramesti, A., Andiyanti, L. and
Effendi, A. (2017) ‘Meningkatkan Komunikasi dan Kolaborasi dengan
Interprofessional Education (IPE): iterature Re- view Haerul’, Jurnal
Keperawatan Muhammadiyah, 2(2), pp. 91–101.
No comments:
Post a Comment