Monday, April 27, 2020

ARTIKEL PALIATIF TENTANG PENDERITA HIV


Dukungan Sosial Dalam Mewujudkan Perawatan Paliatif Untuk Kualitas Hidup Pada Anak-anak Dengan HIV/AIDS


            Tahukah kalian bahwa anak-anak seringkali menjadi korban tanpa disadari? Kebanyakan dari orang dewasa tidak menyadari hingga kerap kali anak-anak menderita secara fisik ataupun psikososial yang menghancurkan kehidupan anak dalam bersosial. Masa kanak-kanak merupakan masa perkembangan biologis yang terjadi begitu pesat akan tetapi secara sosiologis anak-anak dalam masa yang masih terikat dengan lingkungan dan keluarga yang kerap kali penuh akan tantangan yang harus dilewati, seperti tekanan dari studi akademis, perubahan bentuk tubuh, perkembangan fungsi kognisi, bahkan hubungan dengan teman sebaya. Hal ini terbukti dalam penelitian (Zhou et al., 2019) yang menunjukkan bahwa pada masa perkembangan psikologis termasuk kognisi, anak-anak lebih sensitive terhadap peristiwa stress dan lebih rentan terhadap dampak keinginan social.

            Anak-anak banyak menderita akibat perbuatan orangtuanya yang tidak berhati-hati akan kesehatan reproduksi hingga membuat anak-anak menjadi korban penderita HIV tanpa disadari karena penyakit HIV dapat ditularkan melalui keturunan genetic ibu yang tertular ke anak. Oleh sebab itu kesadaran diri untuk menjaga kesehatan sangat diperlukan. banyak anak-anak menyatakan bahwa menyalahkan dan marah kepada orang tua mereka karena telah menginfeksi mereka dan merasa terganggu oleh bagaimana dan mengapa mereka terinveksi HIV, hal ini di buktikan dalam penelitian (Kimera et al., 2019). Tentu saja ini juga sesuai dengan yang dinyatakan dalam penelitian (Zhou et al., 2019) menunjukkan bahwa Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah menjadi keadaan darurat social yang signifikan di seluruh dunia. HIV mengacam anak-anak yang belum pernah terjadi sebelumnnya. Menurut data statistic USNAID 1,8 juta anak-anak (<15tahun) adalah HIV positif pada akhir 2017. HIV dan AIDS sudah lazim di dunia sejak ditemukan beberapa tahun lalu. Menurut Thupayagale-Tshweneagae dan Mokomane (2013), pandemi HIV dan AIDS telah merenggut banyak nyawa dan tidak hanya memiliki pengaruh langsung pada pertumbuhan dan perkembangan banyak negara tetapi juga telah menyebabkan meningkatnya jumlah anak-anak yatim dan remaja. (Asikhia and Mohangi, 2015)

            Oleh karena itu, dalam mengenali perkembangan anak maka diperlukan sebuah gerakan dalam pendekatan pada lingkungan social anak yang sangat berpengaruh seperti lingkup pendidikan atau sekolah. Dalam banyak studi ini dikatakan bahwa sekolah dianggap sebagai lingkungan yang menantang bagi anak penderita HIV. Ditemukan bahwa anak penderita HIV cenderung merasa unik dari rekan-rekan mereka karena status HIV mereka tetapi juga karena obat yang harus mereka minum berulang untuk bertahan hidup yang mengarah ke stigma internal (Kimera et al., 2019). Sebagian besar anak-anak banyak menghabiskan hari mereka di sekolah. Maka, sekolah merupakan konteks perkembangan yang penting untuk di pahami dari pengalaman pendidikan yang di alami oleh anak-anak yang terinfeksi HIV. selain itu pembentukan fungsi kognitif, social, emosional dan perilaku juga di dapatkan anak-anak di lingkup sekolah atau pendidikan, hal ini terdapat pada hasil penelitian yang dinyatakan oleh penulis di (Abubakar et al., 2016)

            Diambil dari (Asikhia and Mohangi, 2015) kesimpulan UNICEF (2009) tentang perlunya menciptakan lingkungan sekolah yang mendukung dengan sekolah yang memusatkan perhatian pada kebutuhan anak secara keseluruhan: kesehatan, keselamatan, keamanan, status gizi dan kesejahteraan psikologis mereka. Juga, menurut UNICEF (2009), sekolah tersebut harus menjadi tempat bermain dan interaksi yang sehat, mencegah dan menghadapi pelecehan dan perilaku antisosial, pelecehan, penindasan, eksploitasi seksual, kekerasan, stigma dan diskriminasi.

            Adapula dampak dari HIV/AIDS secara langsung dan tidak langsung yang harus di hadapi anak-anak yang terinfeksi HIV/AIDS seperti resiko gangguan perkembangan dan neoropsikologis. Seperti yang di ketahui dari penelitian (Mpango et al., 2019) HIV memiliki efek neurotoksik langsung pada struktur otak yang terlibat dalam pengaturan emosi, perilaku, dan kognisi, efek ini diperkirakan dihasilkan terutama dari kemampuan HIV untuk menginduksi faktor peradangan yang menyebabkan kerusakan sel saraf dan akhirnya kematian sel. Efek tidak langsung dari HIV termasuk tekanan sosial, kemiskinan, penyakit dan trauma pada morbiditas dan mortalitas.  

            Pada pasien HIV/AIDS memiliki masalah dalam hal fisik, psikologis, sosial, maupun spiritual. Beban yang cukup kompleks yang dihadapi seringkali membuat mereka perlu perawatan paliatif guna meningkatkan kualitas hidup mereka. Dikutip dari (Hidayanti et al., 2016) Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 812/Menkes/SK/VII/2007 tentang “Kebijakan Perawatan Paliatif’, menyebutkan bahwa perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual. Tentu hal ini menurut saya menunjukkan bahwa penderita HIV membutuhkan pelayanan kesehatan salah satunya perawatan paliatif terutama pada anak-anak penderita HIV. Mereka memerlukan dukungan secara social dalam memotivasi diri dikehidupan yang dijalani.

            Tantangan dan strategi pendukung yang dilaporkan dikategorikan ke dalam tiga tema utama yang saling terkait; kesejahteraan psikososial, pengungkapan status HIV, dan pengobatan dan kesehatan, yang ditengahi oleh subtema stigma. Meskipun kemajuan medis dan fasilitasi umur panjang mereka, hidup dengan HIV tetap menantang dan menjadi muda tampaknya memperburuk ini. Dikutip dari penelitian studi di (Kimera et al., 2019)

            Peristiwa kehidupan traumatis membuat anak-anak yang terinfeksi HIV mengakibatkan depresi dan menderita lebih banyak stress dibandingkan anak-anak yang sehat dan stress ini bersifat kronis di berbagai tingkat kehidupan       anak-anak. Prasangka dan diskriminasi yang di sebabkan oleh stigma terkait infeksi HIV dapat menyebabkan anak-anak yang terifeksi HIV menghadapi dampak negative dari banyak hal dalam masyarakat seperti merasa terisolasi, tidak berdaya dan diintimidasi. Dalam hal mengatasi stigma dan integrasi ke dalam masyarakat, anak-anak yang terinfeksi HIV juga dapat dipengaruhi oleh keinginan sosial. Keinginan sosial dapat dipandang sebagai kecenderungan untuk menampilkan diri dengan baik atau untuk mendapatkan persetujuan dengan merespons dengan cara yang dapat diterima secara budaya dan social. (Zhou et al., 2019)

            Dalam penelitian (Zhou et al., 2019) Depresi pada anak yang terinfeksi HIV menyebabkan dampak negatif pada berbagai aspek kualitas hidup mereka dan memiliki pengaruh yang sangat merusak pada masyarakat. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa anak-anak yang terinfeksi HIV yang menderita depresi lebih mungkin mengembangkan hasil dan perilaku yang maladaptif, termasuk putus sekolah, penyalahgunaan narkoba, penggunaan alkohol, dan terlibat dalam perilaku seksual berisiko tinggi yang meningkatkan risiko penularan HIV.

            Selain tekanan stigma, hubungan buruk dengan orang tua mereka, penyakit yang dialami orang tua mereka bahkan bisa menyebabkan kehilangan orang tua mereka yang membuat anak-anak terinfeksi HIV juga menderita. Selain itu pengobatan dan perkembangan infeksi HIV pada anak-anak yang erinfeksi HIV cenderung membuat anak-anak merasa depresi karena penggunaan obat-obatan secara terus menerus dalam waktu yang lama dan tidak pasti. Ketika anak-anak menghadapi satu atau lebih stressor secara bersamaan terkait infeksi HIV maka dukungan social salah satu factor utama dan penting dalam memperbaiki depresi diantara pasien untuk mendapatkan dorongan dalam menghadapi semua tekanan beban stressor terkait infeksi HIV.  

            Selain itu, memperumit tantangan kehilangan orang tua adalah hilangnya bimbingan dan perlindungan orang dewasa, dan kemungkinan bahwa anak-anak seperti itu mungkin berisiko lebih besar mengalami masalah emosional, psikologis dan perilaku. Kemungkinan ini didukung oleh laporan UNICEF (2013) bahwa terlepas dari jutaan yang diinvestasikan dalam program-program yang mendukung anak-anak yang terkena dampak HIV, banyak dari anak-anak tersebut yang terus menghadapi tantangan ekonomi, emosional, dan sosial yang sangat besar. Selanjutnya, Cluver dan Gardner (2006) menemukan bahwa remaja yang terkena dampak HIV dan AIDS lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki teman dekat, lebih cenderung kehilangan kesabaran dengan cepat, menunjukkan kesulitan berkonsentrasi dan memiliki gejala somatik dan mimpi buruk.(Asikhia and Mohangi, 2015)

            Palliative care bagi penderita HIV/AIDS terutama pada anak-anak yang terinfeksi sangat di butuhkan dalam menangani masalah yang muncul baik secara fisik, psikologis, social, maupun spiritual. Hal ini terdiri dari beberapa bagian peran yang dilakukan seperti masalah fisik akan di tangani dokter dan tim medis di pelayanan kesehatan sedangkan untuk masalah psiko, sosio,spiritual akan di tangani oleh psikolog, konselor, dan rohaniawan. Yang mana dukungan social berupa sebuah persepsi memiliki dampak langsung yang bermanfaat pada kesehatan. Tentu saja hal ini mengacu pada pengalaman emosional, kepuasan dihormati, didukung, dan di pahami sehingga dapat di rasakan dan diterima dukungan social yang di berikan dalam pelayanan dan dapat menjadi penyangga dari risiko bunuh diri yang di ciptakan oleh tekanan kehidupan yang di jalani penderita HIV.

             Dukungan social yang didapatkan bagi anak-anak yang terinfeksi HIV akan terasa dengan tingkat yang lebih tinggi secara langsung dengan sedikit gejala terkait trauma diantara penderita yang mengalami stress. Ketersediaan dukungan sosial yang dirasakan dapat mencegah atau mengurangi terjadinya gejala depresi dengan mencegah pemicu stres agar tidak dianggap sebagai stres. Anak-anak yang terinfeksi HIV mungkin mengalami lebih banyak situasi stres yang disebabkan oleh paparan yang lebih tinggi terhadap peristiwa traumatis. Anak-anak yang terinfeksi HIV dengan tingkat dukungan sosial yang lebih tinggi mungkin lebih mungkin untuk percaya bahwa orang lain akan menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah ketika mereka menghadapi stres. Hal ini dapat membantu mereka dalam mendefinisikan potesi bahaya yang di timbulkan dari stress dan mencegah atau mengubah respon perilaku maladatif terhadap stress.  Ada kemungkinan bahwa anak-anak yang terinfeksi HIV dengan tingkat rendah dukungan sosial yang dirasakan dapat mengalami persepsi yang meningkat tentang ancaman peristiwa stres yang mengakibatkan tingginya tingkat gejala depresi. (Zhou et al., 2019)

            Dikutip dari (Zhou et al., 2019) Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang sangat dipengaruhi oleh keinginan sosial dapat menyangkal pikiran dan perasaan negatif dalam upaya untuk menormalkan dunia sosial mereka. Yang paling penting, sebagai anak yang terinfeksi HIV, mereka tidak hanya harus menghadapi beban belajar, hubungan dengan teman sebaya, dan perubahan tubuh, tetapi juga tekanan yang berasal dari stigma, pengobatan, dan perkembangan infeksi HIV. Akibatnya, untuk menjadi normal dan dengan demikian menghindari kontrol yang kuat, penolakan terbuka, ancaman penolakan dari masyarakat dan lingkungan, mereka merasa perlu untuk menekan pikiran dan perasaan negatif dari kesadaran mereka sendiri. Karena potensi kehilangan orang tua, atau hubungan yang buruk melalui merawat orang tua mereka, anak-anak yang terinfeksi HIV yang kurang kehangatan dapat merespons dengan cara yang menguntungkan secara budaya dan sosial daripada yang benar untuk diri mereka sendiri agar dapat diterima, diakui, dan dihargai dari guru dan kaum kerabat. Dalam kemajuan panjang penyangkalan dan penindasan, Anak-anak yang terinfeksi HIV mungkin tidak melepaskan dengan benar dan mengekspresikan emosi negatif mereka. Menurut teori strategi regulasi emosi, ketika individu mengadopsi beberapa bentuk regulasi emosional supresif untuk menghadapi peningkatan pengalaman emosional negatif subyektif, ini akhirnya mengarah ke gangguan depresi.

            Dari banyak pernyataan di atas sudah sangat jelas menunjukkan bahwa anak-anak penderita HIV mengalami banyak gangguan dalam bersosial di kehidupannya. Hal ini tentu mejadikan perawatan palliative sangat di perlukan dan penting bagi anak-anak pederita HIV untuk mendapatkan dukungan social secara langsung yang akan memberikan efek baik pada anak-anak HIV. Dengan adanya perawatan palliative diharapkan bisa membuat anak-anak HIV dapat menghadapi tantangan-tantangan yang cenderung memperburuk stigma diluar sana dan menunjukkan bahwa mereka dapat berkembang dan mengoptimalkan potensi mereka hingga dapat diterima oleh lingkup sekitar.


Referensi
Abubakar, A. et al. (2016) ‘“Everyone has a secret they keep close to their hearts”: Challenges faced by adolescents living with HIV infection at the Kenyan coast Infectious Disease epidemiology’, BMC Public Health. BMC Public Health, 16(1), pp. 1–8. doi: 10.1186/s12889-016-2854-y.
Asikhia, O. A. and Mohangi, K. (2015) ‘A case study of school support and the psychological, emotional and behavioural consequences of HIV and AIDS on adolescents’, Sahara J. Taylor & Francis, 12(1), pp. 123–133. doi: 10.1080/17290376.2015.1125305.
Hidayanti, E. et al. (2016) ‘Kontribusi Konseling Islam Dalam Mewujudkan Palliative Care Bagi Pasien Hiv/Aids Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang’, Religia, 19(1), p. 113. doi: 10.28918/religia.v19i1.662.
Kimera, E. et al. (2019) ‘Challenges and support for quality of life of youths living with HIV/AIDS in schools and larger community in East Africa: A systematic review 11 Medical and Health Sciences 1117 Public Health and Health Services’, Systematic Reviews. Systematic Reviews, 8(1), p. 64. doi: 10.1186/s13643-019-0980-1.
Mpango, R. S. et al. (2019) ‘Prevalence, correlates for early neurological disorders and association with functioning among children and adolescents with HIV/AIDS in Uganda’, BMC Psychiatry. BMC Psychiatry, 19(1), pp. 1–7. doi: 10.1186/s12888-019-2023-9.
Zhou, E. et al. (2019) ‘Factors associated with depression among HIV/AIDS children in China’, International Journal of Mental Health Systems. BioMed Central, 13(1), pp. 1–9. doi: 10.1186/s13033-019-0263-1.

No comments:

Post a Comment