Dukungan
Sosial Dalam Mewujudkan Perawatan Paliatif Untuk Kualitas Hidup Pada Anak-anak
Dengan HIV/AIDS
Tahukah kalian bahwa anak-anak
seringkali menjadi korban tanpa disadari? Kebanyakan dari orang dewasa tidak
menyadari hingga kerap kali anak-anak menderita secara fisik ataupun
psikososial yang menghancurkan kehidupan anak dalam bersosial. Masa kanak-kanak
merupakan masa perkembangan biologis yang terjadi begitu pesat akan tetapi
secara sosiologis anak-anak dalam masa yang masih terikat dengan lingkungan dan
keluarga yang kerap kali penuh akan tantangan yang harus dilewati, seperti
tekanan dari studi akademis, perubahan bentuk tubuh, perkembangan fungsi
kognisi, bahkan hubungan dengan teman sebaya. Hal ini terbukti dalam penelitian
(Zhou et al.,
2019) yang menunjukkan bahwa pada masa perkembangan
psikologis termasuk kognisi, anak-anak lebih sensitive terhadap peristiwa
stress dan lebih rentan terhadap dampak keinginan social.
Anak-anak banyak menderita akibat perbuatan orangtuanya
yang tidak berhati-hati akan kesehatan reproduksi hingga membuat anak-anak
menjadi korban penderita HIV tanpa disadari karena penyakit HIV dapat
ditularkan melalui keturunan genetic ibu yang tertular ke anak. Oleh sebab itu
kesadaran diri untuk menjaga kesehatan sangat diperlukan. banyak anak-anak
menyatakan bahwa menyalahkan dan marah kepada orang tua mereka karena telah
menginfeksi mereka dan merasa terganggu oleh bagaimana dan mengapa mereka terinveksi
HIV, hal ini di buktikan dalam penelitian (Kimera et al.,
2019). Tentu saja ini juga sesuai dengan
yang dinyatakan dalam penelitian (Zhou et al.,
2019) menunjukkan bahwa Infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) telah menjadi keadaan darurat social yang
signifikan di seluruh dunia. HIV mengacam anak-anak yang belum pernah terjadi
sebelumnnya. Menurut data statistic USNAID 1,8 juta anak-anak (<15tahun)
adalah HIV positif pada akhir 2017. HIV
dan AIDS sudah lazim di dunia sejak ditemukan beberapa tahun lalu. Menurut
Thupayagale-Tshweneagae dan Mokomane (2013), pandemi HIV dan AIDS
telah merenggut banyak nyawa dan tidak hanya memiliki pengaruh langsung pada
pertumbuhan dan perkembangan banyak negara tetapi juga telah menyebabkan
meningkatnya jumlah anak-anak yatim dan remaja. (Asikhia and Mohangi,
2015)
Oleh karena itu, dalam mengenali perkembangan anak maka
diperlukan sebuah gerakan dalam pendekatan pada lingkungan social anak yang
sangat berpengaruh seperti lingkup pendidikan atau sekolah. Dalam banyak studi
ini dikatakan bahwa sekolah dianggap sebagai lingkungan yang menantang bagi
anak penderita HIV. Ditemukan bahwa anak penderita HIV cenderung merasa
unik dari rekan-rekan mereka karena status HIV mereka tetapi juga karena obat
yang harus mereka minum berulang untuk bertahan hidup yang mengarah ke stigma
internal (Kimera et al.,
2019). Sebagian besar anak-anak banyak
menghabiskan hari mereka di sekolah. Maka, sekolah merupakan konteks
perkembangan yang penting untuk di pahami dari pengalaman pendidikan yang di
alami oleh anak-anak yang terinfeksi HIV. selain itu pembentukan fungsi
kognitif, social, emosional dan perilaku juga di dapatkan anak-anak di lingkup
sekolah atau pendidikan, hal ini terdapat pada hasil penelitian yang dinyatakan
oleh penulis di (Abubakar et al.,
2016)
Diambil dari (Asikhia and Mohangi,
2015)
kesimpulan UNICEF (2009) tentang perlunya
menciptakan lingkungan sekolah yang mendukung dengan sekolah yang memusatkan
perhatian pada kebutuhan anak secara keseluruhan: kesehatan, keselamatan,
keamanan, status gizi dan kesejahteraan psikologis mereka. Juga, menurut
UNICEF (2009), sekolah tersebut
harus menjadi tempat bermain dan interaksi yang sehat, mencegah dan menghadapi
pelecehan dan perilaku antisosial, pelecehan, penindasan, eksploitasi seksual,
kekerasan, stigma dan diskriminasi.
Adapula dampak dari HIV/AIDS secara
langsung dan tidak langsung yang harus di hadapi anak-anak yang terinfeksi
HIV/AIDS seperti resiko gangguan perkembangan dan neoropsikologis. Seperti yang
di ketahui dari penelitian (Mpango et al.,
2019) HIV memiliki efek neurotoksik
langsung pada struktur otak yang terlibat dalam pengaturan emosi, perilaku, dan
kognisi, efek ini diperkirakan dihasilkan terutama dari kemampuan HIV untuk
menginduksi faktor peradangan yang menyebabkan kerusakan sel saraf dan akhirnya
kematian sel. Efek tidak langsung dari HIV termasuk tekanan sosial,
kemiskinan, penyakit dan trauma pada morbiditas dan mortalitas.
Pada pasien HIV/AIDS
memiliki masalah dalam hal fisik, psikologis, sosial, maupun spiritual. Beban
yang cukup kompleks yang dihadapi seringkali membuat mereka perlu perawatan
paliatif guna meningkatkan kualitas hidup mereka. Dikutip dari (Hidayanti et
al., 2016) Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor: 812/Menkes/SK/VII/2007 tentang “Kebijakan Perawatan Paliatif’,
menyebutkan bahwa perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan
memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang
berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan
peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan
nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual. Tentu hal ini
menurut saya menunjukkan bahwa penderita HIV membutuhkan pelayanan kesehatan
salah satunya perawatan paliatif terutama pada anak-anak penderita HIV. Mereka
memerlukan dukungan secara social dalam memotivasi diri dikehidupan yang
dijalani.
Tantangan dan strategi
pendukung yang dilaporkan dikategorikan ke dalam tiga tema utama yang saling
terkait; kesejahteraan psikososial, pengungkapan status HIV, dan
pengobatan dan kesehatan, yang ditengahi oleh subtema stigma. Meskipun
kemajuan medis dan fasilitasi umur panjang mereka, hidup dengan HIV tetap
menantang dan menjadi muda tampaknya memperburuk ini. Dikutip dari penelitian
studi di (Kimera et al.,
2019)
Peristiwa kehidupan traumatis membuat anak-anak yang
terinfeksi HIV mengakibatkan depresi dan menderita lebih banyak stress
dibandingkan anak-anak yang sehat dan stress ini bersifat kronis di berbagai tingkat
kehidupan anak-anak.
Prasangka dan diskriminasi yang di sebabkan oleh stigma terkait infeksi HIV
dapat menyebabkan anak-anak yang terifeksi HIV menghadapi dampak negative dari
banyak hal dalam masyarakat seperti merasa terisolasi, tidak berdaya dan
diintimidasi. Dalam hal mengatasi stigma dan integrasi ke dalam masyarakat,
anak-anak yang terinfeksi HIV juga dapat dipengaruhi oleh keinginan
sosial. Keinginan sosial dapat dipandang sebagai kecenderungan untuk
menampilkan diri dengan baik atau untuk mendapatkan persetujuan dengan
merespons dengan cara yang dapat diterima secara budaya dan social. (Zhou et al.,
2019)
Dalam penelitian (Zhou et al., 2019) Depresi pada anak
yang terinfeksi HIV menyebabkan dampak negatif pada berbagai aspek kualitas
hidup mereka dan memiliki pengaruh yang sangat merusak pada masyarakat.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa anak-anak yang terinfeksi HIV yang
menderita depresi lebih mungkin mengembangkan hasil dan perilaku yang
maladaptif, termasuk putus sekolah, penyalahgunaan narkoba, penggunaan alkohol,
dan terlibat dalam perilaku seksual berisiko tinggi yang meningkatkan risiko
penularan HIV.
Selain tekanan stigma, hubungan
buruk dengan orang tua mereka, penyakit yang dialami orang tua mereka bahkan
bisa menyebabkan kehilangan orang tua mereka yang membuat anak-anak terinfeksi
HIV juga menderita. Selain itu pengobatan dan perkembangan infeksi HIV pada
anak-anak yang erinfeksi HIV cenderung membuat anak-anak merasa depresi karena
penggunaan obat-obatan secara terus menerus dalam waktu yang lama dan tidak
pasti. Ketika anak-anak menghadapi satu atau lebih stressor secara bersamaan
terkait infeksi HIV maka dukungan social salah satu factor utama dan penting
dalam memperbaiki depresi diantara pasien untuk mendapatkan dorongan dalam
menghadapi semua tekanan beban stressor terkait infeksi HIV.
Selain
itu, memperumit tantangan kehilangan orang tua adalah hilangnya bimbingan dan
perlindungan orang dewasa, dan kemungkinan bahwa anak-anak seperti itu mungkin
berisiko lebih besar mengalami masalah emosional, psikologis dan perilaku. Kemungkinan
ini didukung oleh laporan UNICEF (2013) bahwa terlepas dari
jutaan yang diinvestasikan dalam program-program yang mendukung anak-anak yang
terkena dampak HIV, banyak dari anak-anak tersebut yang terus menghadapi
tantangan ekonomi, emosional, dan sosial yang sangat besar. Selanjutnya, Cluver
dan Gardner (2006) menemukan bahwa
remaja yang terkena dampak HIV dan AIDS lebih kecil kemungkinannya untuk
memiliki teman dekat, lebih cenderung kehilangan kesabaran dengan cepat,
menunjukkan kesulitan berkonsentrasi dan memiliki gejala somatik dan mimpi
buruk.(Asikhia and Mohangi,
2015)
Palliative care bagi penderita HIV/AIDS
terutama pada anak-anak yang terinfeksi sangat di butuhkan dalam menangani
masalah yang muncul baik secara fisik, psikologis, social, maupun spiritual. Hal
ini terdiri dari beberapa bagian peran yang dilakukan seperti masalah fisik
akan di tangani dokter dan tim medis di pelayanan kesehatan sedangkan untuk
masalah psiko, sosio,spiritual akan di tangani oleh psikolog, konselor, dan
rohaniawan. Yang mana dukungan social berupa sebuah persepsi memiliki dampak
langsung yang bermanfaat pada kesehatan. Tentu saja hal ini mengacu pada
pengalaman emosional, kepuasan dihormati, didukung, dan di pahami sehingga
dapat di rasakan dan diterima dukungan social yang di berikan dalam pelayanan
dan dapat menjadi penyangga dari risiko bunuh diri yang di ciptakan oleh
tekanan kehidupan yang di jalani penderita HIV.
Dukungan social yang didapatkan bagi anak-anak
yang terinfeksi HIV akan terasa dengan tingkat yang lebih tinggi secara
langsung dengan sedikit gejala terkait trauma diantara penderita yang mengalami
stress. Ketersediaan dukungan sosial yang dirasakan dapat mencegah
atau mengurangi terjadinya gejala depresi dengan mencegah pemicu stres agar
tidak dianggap sebagai stres. Anak-anak yang terinfeksi HIV mungkin
mengalami lebih banyak situasi stres yang disebabkan oleh paparan yang lebih
tinggi terhadap peristiwa traumatis. Anak-anak yang terinfeksi HIV dengan
tingkat dukungan sosial yang lebih tinggi mungkin lebih mungkin untuk percaya
bahwa orang lain akan menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk menyelesaikan
masalah ketika mereka menghadapi stres. Hal ini dapat membantu mereka dalam
mendefinisikan potesi bahaya yang di timbulkan dari stress dan mencegah atau
mengubah respon perilaku maladatif terhadap stress. Ada kemungkinan bahwa
anak-anak yang terinfeksi HIV dengan tingkat rendah dukungan sosial yang
dirasakan dapat mengalami persepsi yang meningkat tentang ancaman peristiwa
stres yang mengakibatkan tingginya tingkat gejala depresi. (Zhou et al., 2019)
Dikutip dari (Zhou et al., 2019) Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang sangat
dipengaruhi oleh keinginan sosial dapat menyangkal pikiran dan perasaan negatif
dalam upaya untuk menormalkan dunia sosial mereka. Yang paling penting, sebagai
anak yang terinfeksi HIV, mereka tidak hanya harus menghadapi beban belajar,
hubungan dengan teman sebaya, dan perubahan tubuh, tetapi juga tekanan yang
berasal dari stigma, pengobatan, dan perkembangan infeksi HIV. Akibatnya,
untuk menjadi normal dan dengan demikian menghindari kontrol yang kuat,
penolakan terbuka, ancaman penolakan dari masyarakat dan lingkungan, mereka
merasa perlu untuk menekan pikiran dan perasaan negatif dari kesadaran mereka
sendiri. Karena potensi kehilangan orang tua, atau hubungan yang buruk
melalui merawat orang tua mereka, anak-anak yang terinfeksi HIV yang kurang
kehangatan dapat merespons dengan cara yang menguntungkan secara budaya dan
sosial daripada yang benar untuk diri mereka sendiri agar dapat diterima,
diakui, dan dihargai dari guru dan kaum kerabat. Dalam kemajuan panjang
penyangkalan dan penindasan, Anak-anak yang terinfeksi HIV mungkin tidak
melepaskan dengan benar dan mengekspresikan emosi negatif mereka. Menurut
teori strategi regulasi emosi, ketika individu mengadopsi beberapa bentuk
regulasi emosional supresif untuk menghadapi peningkatan pengalaman emosional
negatif subyektif, ini akhirnya mengarah ke gangguan depresi.
Dari banyak pernyataan di atas sudah sangat jelas menunjukkan
bahwa anak-anak penderita HIV mengalami banyak gangguan dalam bersosial di
kehidupannya. Hal ini tentu mejadikan perawatan palliative sangat di perlukan
dan penting bagi anak-anak pederita HIV untuk mendapatkan dukungan social
secara langsung yang akan memberikan efek baik pada anak-anak HIV. Dengan
adanya perawatan palliative diharapkan bisa membuat anak-anak HIV dapat
menghadapi tantangan-tantangan yang cenderung memperburuk stigma diluar sana
dan menunjukkan bahwa mereka dapat berkembang dan mengoptimalkan potensi mereka
hingga dapat diterima oleh lingkup sekitar.
Referensi
Abubakar, A. et al. (2016) ‘“Everyone has a secret they keep close
to their hearts”: Challenges faced by adolescents living with HIV infection at
the Kenyan coast Infectious Disease epidemiology’, BMC Public Health.
BMC Public Health, 16(1), pp. 1–8. doi: 10.1186/s12889-016-2854-y.
Asikhia, O. A. and Mohangi, K. (2015) ‘A case study of school
support and the psychological, emotional and behavioural consequences of HIV
and AIDS on adolescents’, Sahara J. Taylor & Francis, 12(1), pp.
123–133. doi: 10.1080/17290376.2015.1125305.
Hidayanti, E. et al. (2016) ‘Kontribusi Konseling
Islam Dalam Mewujudkan Palliative Care Bagi Pasien Hiv/Aids Di Rumah Sakit
Islam Sultan Agung Semarang’, Religia, 19(1), p. 113. doi:
10.28918/religia.v19i1.662.
Kimera, E. et al. (2019) ‘Challenges and support for
quality of life of youths living with HIV/AIDS in schools and larger community
in East Africa: A systematic review 11 Medical and Health Sciences 1117 Public
Health and Health Services’, Systematic Reviews. Systematic Reviews,
8(1), p. 64. doi: 10.1186/s13643-019-0980-1.
Mpango, R. S. et al. (2019) ‘Prevalence, correlates
for early neurological disorders and association with functioning among
children and adolescents with HIV/AIDS in Uganda’, BMC Psychiatry. BMC
Psychiatry, 19(1), pp. 1–7. doi: 10.1186/s12888-019-2023-9.
Zhou, E. et al. (2019) ‘Factors associated with
depression among HIV/AIDS children in China’, International Journal of
Mental Health Systems. BioMed Central, 13(1), pp. 1–9. doi:
10.1186/s13033-019-0263-1.
No comments:
Post a Comment